Pilkada dan Janji-janji Politik Pasangan Calon

Pemred KuansingKita
“ Banyak janji-janji palsu dalam politik termasuk janji politik para kontestan pilkada. Kendati begitu, bukan berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam negara demokrasi janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk”
Sejak proses Pilkada Kuansing memasuki tahapan kampanye, ketiga kontestan mulai menebar janji. Paslon nomor urut 1 SDM menebarkan janji “siap membangun secara merata dan terbukti atau Lanjutkan”, paslon nomor urut 2 AYO “pengaspalan seluruh ruas jalan di Kuansing”, paslon nomor urut 3   HS “membangun kebun sawit untuk warga miskin”
Janji-janji politik para kontestan pillkada Kuansing ini sering mengundang perdebatan antar kubu di berbagai media sosial. Sayangnya dalam perdebatan tidak banyak yang mengupas lebih dalam tentang janji-janji politik yang disampaikan. Mereka lebih sering terjebak dalam debat kusir.
Sebenarnya, ada dua arti penting dalam janji politik. Pertama, janji politik itu mencerminkan bagian dari visi-misi pasangan calon. Selain itu janji politik akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi pasangan calon dalam mencapai target yang hendak diraih bila kelak diberi amanah kekuasaan
Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannnya dalam menjalankan amanah rakyat. Janji politik adalah variable untuk mengukur keberhasilan
Politik tanpa janji adalah politik yang buruk. Kekuasaan tanpa janji adalah kekuasaan otoriter.  Karena itu dalam sistem politik otoriter seorang diktator tidak perlu berjanji kepada siapapun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapapun juga.
Dalam momen pilkada, janji-janji politik disampaikan kepada warga masyarakat saat massa kampanye. Pasangan calon memberitahukan tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak terpilih. Seharusnya bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihannya
Namun kenyataannya, kini sebagian besar rakyat tidak lagi memandang penting kampanye karena hal ini dianggap tidak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan belaka. Rakyat kini berpandangan janji kampanye  belum pasti akan memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka.
Itu pula yang menjadi alasan mendasar munculnya kekecewaan rakyat terhadap janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye karena tak kunjung pernah menjadi kenyataan. Di sini rakyat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya untuk pemilihan dan diabaikan ketika kekuasaan telah tercapai.
Di mata rakyat yang mulai sadar, janji kampanye para kontestan hanya menjadi pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya, tidak lebih dari itu. Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan.
Sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya fenomena khas di negara kita Indonesia. Di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago telah melakukan penelitian terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin
Hasil penelitiannya menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi setelah terpilih mereka menentukan kebijakan semaunya tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.
Dalam konteks pilkada sebagai kontrak sosial, negara telah menjamin hak dan kewajiban rakyat sebagi pemilih serta hak dan kewajiban pihak yang diplilih seperti kandidat atau kontestan pilkada. Misalnya hak pemilih yang berdaulat menetukan pilihannya melalui pilkada bebas rahasia
Sebaliknya, para kandidat atau kontestan pilkada berhak mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin.  Dalam menggunakan hak itu, para kontestan sudah tentu akan melakukan berbagai upaya dengan cara yang sah dan benar sesuai dengan prinsip persuasi demokratik termasuk menyampaikan janji-janji politik
Karena itu, secara moral, para kandidat atau kontestan pilkada tidak boleh menempatkan janji politik sebagai instrumen pencitraan diri sebatas untuk meraih simpati rakyat saja. Para kontestan harus menempatkan janji-janji politik sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh dipegang untuk kemudian direalisasikan.
Hanya dengan cara ini janji-janji politik dalam kampanye akan benar-benar menjadi rujukan rakyat dalam menentukan pilihannya. Jika proses ini berjalan baik maka pilkada tidak hanya akan menghasilkan demokrasi prosedural tetapi juga demokrasi substantif. Sebaliknya, jika janji tinggal janji  pilkada hanya akan menjadi sebuah dramaturgi (said mustafa husin)
FOTO Ilustrasi

 

 

FOTO Ilustrasi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...