Bupati Suhardiman Amby dan Tudingan Prilaku Kejam.

“ Dalam sepekan ini, bupati Suhardiman Amby dicecar dengan tudingan kejam lantaran menonjobkan orang dekatnya. Benarkah keputusan itu sebagai prilaku kejam. Simak di sini”
Politik dalam teori klasik Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Namun demikian, politik tentu saja tak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Disinilah berbagai problematik mendidih dalam kanca-kanca kepentingan
Dalam kasus pilkada Kuansing misalnya, berbagai problematik kini bermunculan dan telah memicu opini liar. Kini tengah hangat-hangatnya publik membahas kebijakan Bupati Suhardiman Amby yang menonjobkan seorang ASN beserta isterinya
Berbagai cercaan dan umpatan dilontarkan seperti kejam dan lain sebagainya. Apalagi pejabat yang dinonjobkan adalah orang dekat bupati Suhardiman Amby, sehingga kebijakan bupati Suhardiman menonjobkan orang dekatnya dinilai tidak manusiawi
Kenapa ini bisa terjadi. Seperti diulas KuansingKita dalam editorial Kamis 5 September 2024. Dalam pilkada 2024 ini Suhardiman menerapkan pola pendekatan politik struktural, bukan pendekatan politik normatif seperti pola pendekatan kedua pesaingnya
Pola pendekatan politik struktural selalu jadi pilihan calon petahana di banyak daerah. Pasalnya pendekatan struktural mudah dievaluasi dan mudah mengestimasi persentase dukungan suara. Semuanya, mulai dari puncak struktur hingga pemilik suara mudah dikoordinasikan
Dalam pendekatan politik struktural, mata rantai struktural harus bertahan dengan warna yang sama. Jika satu bagian dari mata rantai struktural berubah warna maka resikonya akan sangat besar. Karena itu mata rantai yang berubah warna harus secepatnya diputuskan
Setidaknya kondisi itulah yang terjadi dalam kasus nonjob orang dekat Suhardiman. Mata rantai dari pendekatan politik struktural yang diterapkan Suhardiman terpantau mengalami distorsi sehingga berubah warna. Tak ada pilihan lain, sekalipun orang dekat, mata rantai yang berubah warna harus diputuskan

Mungkin juga kebijakan itu terlihat kejam tapi ketika kita memahami politik dalam konteks kekuasaan, baik dalam konteks merebut kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaan maka keputusan itu lumrah terjadi
Kendati begitu, keputusan Suhardiman itu tentu saja tidak dipengaruhi pandangan Machiavelli yang dituangkan dalam karya besarnya II Principle atau lazim disebut Sang Pangeran. Dalam pengamatan KuansingKita, keputusan itu memang bagian dari proses pendekatan politik struktural
Pada pilkada 2019. Mursini sebagai calon petahana tidak memilih pendekatan politik struktural. Mursini melakukan pendekatan politik normatif. Hasilnya apa?, Mursini sebagai calon petahana kalah telak di posisi ketiga dari tiga pasangan calon pilkada
Pilkada 2015, Sukarmis yang kala itu mendukung pasangan IKO membaurkan pendekatan struktural dan normatif akhirnya kalah tipis, hanya kalah 100 suara di Mahkamah Konstitusi. Padahal sepanjang sejarah pilkada Kuansing, itulah tim pemenangan terkuat
Kini dalam pilkada Kuansing 2024, Suhardiman Amby menerapkan pola pendekatan politik struktural murni. Harapannya hanya bertumpu pada mata rantai struktural. Kekuatannya ada pada mata rantai struktural
Karena itu jika mata rantai struktural berubah warna, tak ada pilihan lain, sekalipun orang dekat, harus diputuskan. Ini bukan kejam tapi keputusan ini bagian dari mekanisme pendekatan politik strutural
Inilah yang perlu difahami. Pilkada bagian dari politik praktis yang mewadahi perang terampil para calon dalam mendapatkan dukungan publik untuk mencapai posisi puncak kekuasaan.
Jadi tak usah pula heran, dalam pilkada, apa yang dilakukan tetap akan mendapatkan tanggapan karena pilkada sarat dengan berbagai kepentingan serta taktik berkompetisi (said mustafa husin)
FOTO Ilustrasi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...