TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Pakar lingkungan hidup, Dr Elviriadi menyoroti kasus kebakaran lahan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis yang menyeret seorang Petani, Mbah Misni ke pengadilan
Kepada KuansingKita, Pakar lingkungan hidup, Dr Elviriadi mengatakan sangat tidak tepat memperkarakan pemilik lahan seperti Mbah Misni ke pengadilan. Alasannya kasus ini merupakan administrative dependent crime
Ia menjelaskan administrative dependent crime artinya pelaksanaan pidana hanya dilakukan setelah sanksi administrasi diabaikan. Ini biasanya kata Elviriadi diterapkan kepada perusahan atau korporasi yang melakukan pembakaran lahan
Sementara kata Elviriadi, Mbah Misni sebagai individu pemilik lahan sanksi hukum yang diterapkan tentu harus ada perbedaan. Kasus Mbah Misni terjadi di atas lahan milik pribadi. Lahan Mbah Misni tidak diwajibkan AMDAL atau UKL-UPL
Berbeda kata Elviriadi dengan lahan korporasi. Lahan korporasi dibangun berdasarkan sertifikat HGU. Artinya alas hak untuk lahan korporasi tanah milik negara di bawah Kementrian LHK
Karena itu, Elviriadi menekankan jika sanksi untuk Mbah Misni disamakan dengan snksi untuk korporasi maka wajar kalau banyak pihak menilai upaya pemerintah menangani karhutlah kurang komprehensif
Dr Elviriadi mengaku untuk menelaah kasus Mbah Misni ini pihaknya sengaja turun ke lapangan di Pulau Rupat. Di sana Ia mengumpulkan data dan fakta serta melakukan crosscheck ke berbagai pihak
Dosen UIN Suska itu sangat heran kalau kasus Mbah Misni diseret ke pengadilan. Pasalnya kata Elviriadi dalam UU nomor 32 thun 2009 tentang Lingkungaan Hidup tidak dicantumkan jenis sanksi atau hukuman pada tanah pribadi dalam jumlah kecil
“ Itulah makanya kalau ada potensi Karhutlah, perlu adanya terobosan hukum,” tukas Elviriadi
Lebih jauh Ia menjelaskan UU nomor 32 Thun 2009 sebenarnya menuntut peran aktif pemerintah daerah untuk lebih memperkuat regulasi dalam mencegah kerusakan lingkungan, sosialisasi dan solusi membuka lahan tanpa bakar
Akademisi yang sering diminta sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus lingkungan hidup ini juga menyesalkan pengukuran baku mutu di lahan pribadi milik Mbah Misni. Kata Elviriadi pengukuran baku mutu itu berbenturan dengan Pasal 551 KUHP
“ Untuk pengukuran baku mutu penyidik dan ahli harus minta izin ke pemilik lahan. Dalam kasus itu kan belum ada pelanggaran hak berupa orang luka atau meninggal,” kata Elviriadi
Menyinggung Karhutlah, Elviriadi mengatakan bahwa Karhutlah ini hanya merupakan ujung atau akumulasi dari banyaknya pembiaran perusakan hutan dan lahan yang sudah berlangsung sejak lama
Karena itu Ia menekankan untuk saat ini hal yang harus diprioritaskan adalah upaya penegakan hukum terhadap kasus perusakan hutan atau deforestasi yang mangkrak, penertiban lahan HGU sawit yang mengeringkan gambut
Sebenarnya tidak itu saja. Menurut Elviriadi pemerintah harus juga mempriroitaskan penegakan hukum untuk kasus pembukaan atau land clearing lahan gambut dengan cara membakar oleh korporasi-korporasi besar serta bejibun sebab-sebab fundamental di balik Karhutlah
Kendati begitu, Elviriadi juga mengingatkan dalam upaya penegakan hukum pemerintah harus memahami substansi dan filosofi UU Lingkungan Hidup.
Jika keliru dalam upaya penegakan hukum maka korporasi pelaku perusakan hutan dan lahan akan semakin bebas mengeksploitasi lingkungan.
Sedihnya kata Elviriadi, petani dan masyarakat kecil di atas lahan milik pribadi akan menjadi kelompok yang semakin rentan terjerat sanksi hukum.
Tapi yang paling disesalkannya, tak jarang di pengadilan ada ahli yang menghitung ganti rugi hingga miliaran rupiah kepada petani yang terjerat kasus kebakaran lahan di atas lahan milik pribadi
“ Kalau sudah begitu, apa tak kepunan masyarakat Riau ni. Kepunan telouw temakollah,” pungkas Dr Elviriadi dalam bahasa daerah Meranti (smh)