Matahari baru saja terbenam. Dari Camp Granit, tempat istirahat tim ekspedisi PWI Riau di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT), terdengar lantang suara satwa primata saling bersahutan di tengah hutan
Satwa yang senang bergelantungan di pohon-pohon ini saling memekikkan lolongan khas dalam berbagai irama. Terkadang terdengar lolongan dalam irama yang panjang, kadang terputus-putus dalam irama pendek
Hiruk pikuk lolongan satwa primata seperti ungko (hylobates agilis), siamang (symphalangus syndactylus) dan jenis primata lainnya semakin mengentalkan warna rimba terhadap keberadaan kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Tambah lagi, kawasan yang memiliki tipe ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah ini memang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati. Hampir seluruh spesies flora dan fauna di Pulau Sumatera, terdapat di kawasan TNBT.
Karena itu, berbagai jenis mamalia yang terancam punah juga ditemukan di TNBT seperti harimau sumatera (panthera tigris sumatraensis), macan dahan (neofelis nebulosa), beruang madu (helarctos malayanus), tapir (tapirus indicus) dan banyak lagi
Hanya saja, kawasan dengan ketinggian 60 – 734 mpdl ini tidak pula sepenuhnya menjadi tempat yang nyaman bagi sebagian satwa mamalia. Gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) misalnya. Satwa bongsor ini sangat tidak nyaman berada di empat resort TNBT di wilayah Riau
Seperti dipaparkan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Fifin Arfiana Jogasara, tidak ada satu titikpun habitat gajah Sumatera di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh khususnya empat resort di wilayah Provinsi Riau
Empat resort TNBT di Provinsi Riau yakni Resort Lahai, Resort Siambul, Resort Talang Lakat dan Resort Kritang. Dari empat resort TNBT di Provinsi Riau dengan luas 108.185 hektar ini, tidak ada kawasan yang menjadi habitat gajah Sumatera.
“ Gajah tidak nyaman di kawasan ini. Kalaupun ada kawanan gajah keluar dari jalur jelajah lalu memasuki kawasan ini, itu hanya sebentar, gajah tidak betah di sini, kawasan ini didominasi kontur perbukitan,” papar Fifin
Wanita yang sudah terbiasa dengan kondisi alam TNBT ini ketika memanjat Bukit Granit dengan kemiringan 70 derajat menyebutkan gajah tidak mampu mendaki perbukitan. Itu sebabnya gajah tidak suka kawasan yang didominasi kontur perbukitan.
“ Jika nanti teman-teman dikejar gajah harus lari ke perbukitan,” pesan Fifin sambil bercanda di puncak Bukit Granit.
Kawasan TNBT Resort Talang Lakat memang didominasi perbukitan dengan kemiringan yang tajam. Sebagian anggota tim ekspedisi sempat mendaki Bukit Lancang lalu menyusuri Bukit Muntah dan Bukit Tengkorak
Sepanjang perjalanan tidak ditemukan indikasi bahwa kawasan perbukitan ini pernah ditempuh kawanan gajah. Di puncak bukit, pohonan tumbuh subur tanpa terusik. Bahkan di puncak bukit tumbuh pohon Marsawa (anisoptera marginate korth) dengan ukuran banir 12 pelukan orang dewasa
Sebenarnya, selain kontur perbukitan, masih ada alasan lain sehingga kawasan Resort Talang Lakat dan kawasan sekitarnya sangat jarang didatangi kawanan gajah. Ini berkaitan dengan aktivitas penambangan di Resort Talang Lakat
Dulu, sebelum diterbitkan SK Penunjukan kawasan TNBT menjadi taman nasional pada tahun 1995, Resort Talang Lakat ini dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan batuan granit
Hampir setiap hari di kawasan ini terdengar deru suara mesin bor batu kemudian disusul ledakan keras bahan peledak untuk memecahkan batuan granit, sehingga kawanan gajah enggan memasuki kawasan ini.
Bangunan bekas gudang penyimpanan bahan peledak masih berdiri sekitar 700 meter di belakang Camp Granit. Ada bekas jalan mobil menuju gudang. Kini jalan itu sudah ditutupi pepohonan. Untuk menuju gudang, tim ekspedisi terpaksa lewat jalan setapak
Bekas gudang penyimpanan bahan peledak yang disebut juga Gudang Granit itu kini sudah diselimuti semak belukar. Di dalam bangunan dipenuhi sarang tawon. Tidak ada tanda-tanda bahwa kawasan di sekitar gudang itu pernah didatangi kawanan gajah
Lantas bagaimana dengan konflik gajah manusia di TNBT seperti dirilis Frankfurt Zoological Society (FZS). Organisasi konservasi internasional yang ikut terjun di TNBT ini memaparkan, pada tahun 2018 saja terjadi 346 konflik gajah manusia di TNBT
Akibatnya 9.161 pohon karet dan sawit tumbang. Selain itu tercatat 2.475 batang tanaman lain yang rusak. Belum lagi puluhan gubuk petani yang diobrak-abrik hingga rata dengan tanah. Dalam konflik ini seekor gajah Sumatera tewas terbunuh.
Hasil analisis FZS, tingginya tingkat konflik gajah manusia di lansekap Bukit Tiga Puluh disebabkan terjadinya penyempitan habitat gajah. Kawasan yang sebelumnya menjadi habitat gajah telah dikonversi menjadi perkebunan karet dan sawit
Dari kondisi itu, tak ayal lagi, gajah yang terbiasa dengan jalur jelajah yang luas merasa tersiksa di ruang yang sempit lalu keluar untuk mencari makan. Kawanan hewan berbelalai panjang ini masuk ke dalam perkebunan warga dan merusak tanaman.
Untuk pengamanan, warga melakukan penghalauan, namun tak jarang pula warga membunuh satwa yang terancam punah ini dengan memberi racun. Akibatnya populasi gajah Sumatera pada dua dekade lalu sekitar 350 – 400 ekor kini bersisa sekitar 130-150 ekor
Data ini dibenarkan Fifin. Namun menurutnya peristiwa ini tidak terjadi di wilayah Riau. Ini terjadi di lansekap Bukit Tiga Puluh sekitar kawasan TNBT Resort Suo-suo, Kabupaten Tebo, Jambi.
Dari 144.223 hektar luas TNBT berdasarkan Penetapan SK Menteri Nomor 6407/kpts-ll/2002, seluas 36.038 hektar berada di dua resort di Provinsi Jambi.
Dua resort TNBT di Provinsi Jambi masing-masing Resort Lubuk Mandrasah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 11.520 hektar dan Resort Suo-suo di Kabupaten Tebo seluas 24.518 hektar
Fifin menyebutkan di lansekap Bukit Tiga Puluh, sekitar Resort Suo-suo, Kabupaten Tebo memang ada hamparan yang menjadi habitat gajah dengan populasi sekitar 130 – 150 ekor gajah Sumatera.
“ Kini hamparan yang menjadi habitat gajah Sumatera itu telah dikonversi menjadi lahan perkebunan sehingga terjadi penyempitan,” kata Fifin
Taman Nasional Teso Nilo
Berbeda dengan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) justeru menjadi kawasan konservasi gajah. Kawasan ini memiliki topografi relatif datar dan sedikit bergelombang dengan kemiringan 9 – 15 derajat
Namun bukan berarti kawanan gajah betah di kawasan ini. Ruang yang sempit untuk ukuran jalur jelajah gajah yang luas telah memicu berbagai masalah. Kawanan gajah keluar dari kawasan TNTN lalu masuk ke perkebunan warga.
Kepala Balai Taman Nasional Teso Nilo, Heru Sutmantoro memaparkan berdasarkan SK Penetapan Menhut Nomor 6588/Menhut-VII/KUH/2014, luas Taman Nasional Teso Nilo 81.793 hektar.
Sementara, hutan primer TNTN yang kini tersisa hanya sekitar 14.000 hektar saja. Inilah yang menjadi zona inti. Selebihnya atau sekitar 67.000 hektar lebih kawasan TNTN merupakan lahan perkebunan warga dan korporasi.
Bahkan dalam kawasan TNTN ini juga ditemukan kawasan pemukiman warga. Ini tentu sangat dilematis. Pasalnya kata Sutmantoro keberadaan lahan perkebunan dan pemukiman warga ini lebih dulu dari penetapan kawasan TNTN
Sempitnya ruang jelajah gajah di kawasan TNTN membuat kawanan satwa bongsor ini berkeliaran keluar dari zona inti. Kawanan gajah berkeliaran di lahan perkebunan warga atau lahan korporasi yang masih berada di dalam kawasan TNTN.
Kondisi menjadi buruk, ketika salah satu korporasi mengganti tanamannya dengan eucalyptus, kawanan gajah semakin tersiksa. Kawanan hewan bongsor ini tak tahan dengan aroma pohon eucalyptus, akhirnya berkeliaran keluar kawasan TNTN
Beberapa bulan lalu, kawanan gajah TNTN berkeliaran di perkebunan warga Inuman, Kabupaten Kuantan Singingi. Warga melakukan penghalauan, namun malang, hewan yang sangat sensitif ini melawan dan menghempaskan warga ke tanah dengan belalainya
Mahout atau Pelatih atau sering juga disebut Pawang Gajah di Teso Nilo, Erwin Daulay membenarkan kejadian itu. Kala itu, katanya Tim Elephant Flying Squad TNTN turun ke Inuman membantu warga melakukan penghalauan kemudian melakukan penggiringan menggunakan gajah jinak.
Tim Elephant Flyng Squad TNTN memiliki 9 ekor gajah jinak yang sudah terlatih dan sering dipertontonkan kepada pengunjung Teso Nilo. Gajah jinak ini ditemukan dalam rentang 1990 – 1998.
Untuk lebih akrab dengan Mahout, gajah-gajah jinak di TNTN ini diberi nama mirip nama manusia seprti Lisa, Rahman, Indro dan lainnya
“ Gajah jinak ini biasanya diturunkan ketika tim melakukan penggiringan gajah liar agar kembali ke areal konservasi,” kata Erwin saat berbincang dengan sejumlah anggota tim ekspedisi di Teso Nilo, Minggu (8/8/2021) pagi
Erwin pun menjelaskan teknik penggiringan. Saat melakukan penggiringan, tutur Erwin, Mahout atau Pawang harus duduk di atas punggung gajah jinak yang terlatih kemudian mendekati kawanan gajah liar seraya menggiringnya kembali ke kawasan konservasi
“ Saat melakukan penggiringan, Pawang harus memiliki nyali yang kuat. Kadang gajah liar itu menyerang gajah jinak yang ditunggangi,” kata Erwin menguraikan ancaman saat melakukan penggiringan
Gajah dan Teso Nilo memang sulit dipisahkan. Apalagi kawasan TNTN memiliki tipe ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah pamah (dipterocarpa) dengan ketinggian 50 – 175 mdpl sehingga sangat layak menjadi habitat gajah.
Tambah lagi, kawasan TNTN merupakan daerah tangkapan air DAS Sungai Teso, Sungai Nilo, Sungai Segati dan Sungai Sengkalo, sehingga gajah sudah tentu akan merasa nyaman di kawasan dengan air berlimpah ini
Namun sempitnya ruang jelajah gajah di kawasan TNTN telah menimbulkan berbagai masalah. Hutan primer 14000 hektar tidak cukup luas untuk 130 ekor populasi gajah TNTN. Kawanan gajah menjelajah kawasan sekitarnya akhirnya muncul konflik gajah manusia
“ Ruang yang sempit membuat kawanan gajah keluar kawasan konservasi. Inilah yang memicu konflik gajah manusia yang berdampak pada menurunnya populasi gajah,” kata Erwin
Kondisi lain yang mengancam kepunahan gajah adalah masa kelahiran. Menurut Erwin, gajah usianya sama dengan manusia sekitar 60 – 70 tahun. Namun hewan bongsor ini hanya bisa melahirkan satu ekor anak sekali dalam enam tahun dengan masa kehamilan 23 bulan.
“ Saya khawatir gajah akan punah. Peningkatan populasi gajah sangat lambat. Melahirkan satu anak sekali dalam enam tahun. Karena itu gajah harus dilindungi, ya harus dilindungi jika tidak ingin satwa bongsor ini punah dari muka bumi,” pesan Erwin dengan nada penuh harap. (said mustafa husin)