Duduk di atas rumput beralaskan tikar, Fifin Arfiana Jogasara, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) memaparkan di depan wartawan berbagai permasalahan dan program untuk pelestarian alam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Malam itu, udara di halaman Camp Granit, di kawasan TNBT, Resort Talang Lakat, terasa sangat dingin menusuk kulit. Ini tak lain disebabkan tempat acara berlangsung berada di ketinggian 437 mdpl. Meski begitu, sampai akhir acara tidak seorangpun wartawan yang beranjak
Di depan puluhan wartawan PWI Riau yang juga ikut meriung atau duduk berkumpul di atas rumput beralaskan tikar, Fifin tidak saja bicara tentang pelestarian alam dan restorasi ekosistem tapi juga tentang program pembinaan komunitas suku terasing
Di lansekapBukit Tiga Puluh yang terbentang di wilayah Provinsi Riau dan Provinsi Jambi memang ada dua komunitas suku terasing yakni Suku Kubu atau Suku Anak Dalam dan Suku Talang Mamak. Dua komunitas ini sudah mendiami kawasan Bukit Tiga Puluh sejak ratusan tahun lalu
Suku Anak Dalam yang mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di wilayah Provinsi Jambi termasuk komunitas nomaden yang selalu berpindah-pindah
Fifin menyebutkan ini salah satu program yang diusung Balai TNBT. Suku Anak Dalam akan diberikan pembinaan agar bisa meninggalkan prilaku nomaden. Pasalnya prilaku nomaden berdampak pada program pelestarian alam TNBT
“ Suku Anak Dalam setiap kali berpindah akan membuka lahan baru. Sekalipun tidak terlalu luas tapi tetap berdampak pada program pelestarian alam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh,” papar Fifin
Perpindahan Suku Anak Dalam memang tidak setiap tahun. Biasanya mereka berpindah lantaran anggota keluarga meninggal dunia, hasil hutan di lokasi tempat tinggal mulai habis, musim buah di tempat lain serta ancaman dari luar.
“ Kalau lagi musim buah di sini, kadang-kadang Suku Anak Dalam juga berbondong-bondong sampai ke wilayah Riau,” kata Fifin
Komunitas suku terasing yang mendiami kawasan TNBT di wilayah Riau yaitu Suku Talang Mamak. Seiring perkembangan peradaban, komunitas Talang Mamak kini terpecah menjadi Suku Talang Mamak dan Melayu Tua.
Suku Talang Mamak bermukim jauh di pedalaman di sepanjang aliran sungai Batang Gangsal. Komunitas ini masih menganut kepercayaan animisme serta sangat teguh memegang keyakinan tentang kekuatan roh leluhur mereka.
“ Nah, ini kawasan Pintu Tujuh. Dalam keyakinan Suku Talang Mamak kawasan ini sangat sakral. Di sini tempat bermukimnya roh leluhur Talang Mamak,” kata Fifin seraya menunjuk ke arah slide yang ditayangkan lewat layar infocus
Di bawah udara malam yang semakin dingin, Fifin Arfiana Jogasara melanjutkan paparannya seputar keberhasilan Balai TNBT melakukan pembinaan terhadap Suku Talang Mamak
Suku Talang Mamak kini sudah hidup menetap atau tidak lagi berpindah-pindah. Sekalipun mereka masih bermukim di pedalaman di sepanjang aliran sungai Batang Gangsal, namun tidak ada yang harus dikhawatirkan.
“ Suku Talang Mamak memiliki kearifan lokal yang sangat menghargai keberadaan hutan. Jadi tidak ada yang harus dikhawatirkan,” kata Fifin
Komunitas Melayu Tua begitu juga, sangat tak mungkin akan merusak hutan. Komunitas Melayu Tua kini bermukim dan membangun rumah di sekitar perkotaan. Mereka sudah beragama Islam dan sudah mengenal pendidikan formal.
Sekalipun begitu, komunitas Melayu Tua masih tetap mengikuti berbagai ritual dan prosesi adat yang digelar Suku Talang Mamak. Mereka akan masuk ke dalam hutan ketika Suku Talang Mamak menggelar ritual dan prosesi adat.
Di tengah komunitas Talang Mamak dikenal beberapa ritual dan prosesi adat seperti Kumantan yaitu prosesi pengobatan penyakit, Cuci Lantai prosesi adat untuk bayi yang baru lahir
Ada juga prosesi adat yang disebut Begawai yaitu prosesi pernikahan, bahkan kematian pun memiliki prosesi adat yakni Meratap, Merota dan Betambat.
“ Sekalipun Melayu Tua sudah tinggal di sekitar perkotaan, tapi mereka tak mungkin dan tak akan pernah bisa dipisahkan dari hutan, mereka akan kembali ke hutan, ya ke Taman Nasional Bukit Tiga Puluh,” kata Fifin
Sepertinya memang demikian, sebelum masuk ke kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, tim ekspedisi PWI Riau sempat singgah di Desa Talang Lakat. Mayoritas penduduk desa ini adalah komunitas suku terasing Melayu Tua.
Saat itu memang tidak sempat berkomunikasi dengan warga Melayu Tua, namun sekilas tampak sekali kalau komunitas Melayu Tua sudah mengenal peradaban modern seperti berpakaian lengkap.
Dari Desa Talang Lakat, tim ekspedisi menggunakan mobil double cabin menempuh jalan tanah dengan tanjakan dan turunan dalam kondisi penuh lobang. Hampir satu jam baru sampai di gerbang Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Saat memasuki kawasan taman nasional, dua warga Talang Mamak dari komunitas Melayu Tua keluar dari hutan membawa buah-buahan. Pengemudi mobil berhenti menawarkan rokok dan warga Melayu Tua menawarkan buah rimba yang dibawanya
Talang Mamak dan Bukit Tiga Puluh memang seperti satu kesatuan tubuh yang tak mungkin dipisahkan. Bukit Tiga Puluh butuh Talang Mamak yang sangat menghargai keberadaan hutan dan Talang Mamak butuh Bukit Tiga Puluh untuk sumber kehidupan
Karena itu ketika penetapan Bukit Tiga Puluh sebagai taman nasional tidak ada pihak yang khawatir bahkan banyak pihak yang mendukung. Talang Mamak dan TNBT diyakini akan saling menjaga dan saling menghidupi
Proses penetapan taman nasional ini bermula pada tahun 1982. Kala itu ekosistem di Bukit Tiga Puluh diusulkan untuk menjadi Suaka Margasatwa Bukit Besar seluas 200.000 ha dan Cagar Alam Seberida seluas 120.000 ha.
Pengusulan sebagai taman nasional dilakukan setelah tim dari Norwegia dan Indonesia mengadakan riset di kawasan ini pada rentang tahun 1991 hingga 1992.
Kawasan ini resmi ditunjuk menjadi taman nasional pada tahun 1995. Kemudian pada tahun 2002 barulah turun SK Penetapan Bukit Tiga Puluh menjadi taman nasional
Ketetapan Menteri Kehutanan ini dituangkan melalui SK Menhut Nomor 6407/Kpts-II/2002 tanggal 21 Juni 2002. Sejak itu, kawasan Bukit Tiga Puluh resmi ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas ‘temu gelang’ 144.223 ha
Sekalipun tujuan taman nasional adalah pelestarian alam dan restorasi ekosistem, namun keberadaan dua komunitas suku terasing di TNBT yaitu Suku Anak Dalam dan Suku Talang Mamak tentu tak boleh tidak harus merupakan bagian dari taman nasional
Untuk ini, Fifin pun menjelaskan tentang sistem zona dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Kata Fifin, ada empat zona TNBT yaitu zona inti, zona rimba zona pemanfaatan, dan zona lain-lain
Zona lain-lain ini terdiri dari zona tradisional, zona rehabilitasi, zona budaya, zona khusus dan lainnya. ” Suku terasing berada dalam zona tradisional,” kata Fifin
Masalah yang masih tersisa dari suku terasing di TNBT adalah prilaku berpindah-pindah Suku Anak Dalam. Itu pula alasannya, Balai TNBT akan terus melakukan pembinaan terhadap Suku Anak Dalam agar meninggalkan prilaku berpindah-pindah
Sedangkan Suku Talang Mamak kini telah menetap. Komunitas Talang Mamak kini telah diajarkan memproduksi madu Kelulud yang harganya relatif tinggi dan rasanya berbeda dengan madu lebah.
“ Usaha madu Kelulud ini telah berproduksi namun belum sepenuhnya mampu bersaing di pasar karena terkendala faktor kebersihan produk,” ujar Fifin
Fifin sangat berharap kepada Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Provinsi Jambi untuk ikut mendukung program pembinaan komunitas suku terasing di kawasan TNBT sehingga program pelestarian alam di TNBT bisa terwujudkan
Taman Nasional Teso Nilo
Kendati dalam kawasan Taman Nasional Teso Nilo tidak ditemukan suku terasing, namun dalam kawasan ini juga ditemukan kawasan pemukiman, lahan perkebunan milik warga dan korporasi
Bayangkan, berdasarkan Surat Ketetapan Menteri Kehutanan yang dituangkan melalui SK Menhut Nomor 6588/Menhut VII/KUH/2014 kawasan TNTN memiliki luas 81.793 hektar. Kenyataannya kini, sekitar 67.000 hektar lebih kawasan TNTN menjadi kawasan pemukiman dan lahan perkebunan
Tentu saja ini merupakan salah satu dilema yang dihadapi Balai Taman Nasional Teso Nilo. Proses panjang penetapan kawasan ini menjadi taman nasional telah menimbulkan berbagai permasalahan. Sampai kini permasalahan Teso Nilo belum ditemukan solusinya.
Seperti dipaparkan Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro. Dulunya kawasan Teso Nilo merupakan areal HPH Dwi Marta kemudian berpindah menjadi HPH Inhutani Solalestari.
“ Bekas HPH Inhutani inilah yang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) Teso Nilo pada tahun 1986 dengan luas 38.576 hektar.” kata Heru
Ketika HPH Tanjak Makmur di kawasan Teso Nilo berakhir, areal HPH ini ditetapkan lagi sebagai HPT pada tahun 2009. Sehingga luas HPT Teso Nilo bertambah lagi 44.492 hektar menjadi 81.793 hektar.
“ Kawasan seluas 81.793 hektar inilah yang kemudian ditetapkan sebagai luas Taman Nasional Teso Nilo pada tahun 2014,” kata Heru Sutmantoro
Kendati luas TNTN 81.793 hektar, namun kawasan ini telah ditebangi selama 30 tahun sebelum ditetapkan menjadi taman nasional. Itulah yang menjadi penyebab sebagian besar kawasan TNTN dalam kondisi semak belukar.
Kondisi semak belukar ini pula yang dimanfaatkan para penggarap lahan baik perorangan maupun korporasi sehingga zona inti yang tersisa hanya 14000 hektar saja dari luas TNTN 81.793 hektar
Selain lahan perkebunan, dalam kawasan TNTN juga ditemukan pemukiman warga. Misalnya di Kabupaten Pelalawan tercatat empat kawasan pemukiman diantaranya Desa Lubuk Kembang Bunga
Kabupaten Inhu, enam kawasan pemukiman diantaranya Desa Pontian Mekar. Di Kabupaten Kampar, empat kawasan pemukiman dan Kuantan Singingi tujuh kawasan pemukiman
“ Ini dilemma lagi, soalnya keberadaan kawasan pemukiman ini jauh sebelum penetapan Teso Nilo menjadi taman nasional,” kata Heru Sutmantoro
Terkait dengan dilema lahan perkebunan, sepertinya para pemilik lahan, saat membangun kebun di kawasan TNTN, kawasan itu sudah berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Kendati begitu, Heru mengaku belum akan melakukan langkah represif. Pihak Balai TNTN kini berupaya menghubungi para pemilik lahan agar bertanam tanaman kehutanan. Ini katanya bisa sedikit membantu luas tutupan hutan pada kawasan TNTN
Kenapa pihak Balai TNTN tidak mau bersikap tegas menyikapi penggarap lahan. Heru Sutmantoro mengatakan untuk saat ini tidak mungkin pihak Balai TNTN akan memaksa penggarap lahan meninggalkan kawasan TNTN. Ini bisa memicu gejolak.
“ Tapi kami tentu tidak mungkin pula akan membiarkan mereka berlama-lama di TNTN,” tandas Heru Sutmantoro seakan mengisyaratkan langkah yang akan dilakukan untuk menyelamatkan TNTN ke depan nanti. (said mustafa husin)