TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Jika tak ada aral merintang, Pemimpin Redaksi Kuansing Kita, Said Mustafa Husin akan menghadiri undangan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024 yang dikemas dalam simposium bertajuk “Membaca Ulang Hubungan Muaro Jambi – Nalanda dan Arca-arca Sumatera”.
Kegiatan akbar yang menghadirkan narasumber atau pemateri dari dalam dan luar negeri ini digelar di kawasan situs Muaro Jambi 19 – 23 November mendatang Kegiatan BWCF di situs Muaro Jambi ini juga sebagai bentuk apresiasi BWCF terhadap akreolog Satyawati Suleiman yang pernah melakukan ekpsedisi di Muaro Jambi
Satyawati Suleiman (7 Oktober 1920 – 26 Februari 1988 ) adalah seorang arekolog perempuan pertama dari Indonesia. Ia juga dikenal sebagai arkeolog di bidang klasik dan ikonografi. Pada tahun 1954, ia bersama sejumlah rekan arkeolog lainnya melakukan ekpsedisi khususnya wilayah Sumatera Selatan dan Jambi
Sejumlah arkelog dari Indonesia yang turun melakukan ekspedisi bersama Satyawati Suleiman yakni RP Soejono, Bochari, Basoeki, Uka Tjandrasasmita, Selain itu juga ikut para arkeolog dari Belanda. Ekspedisi ini merupakan penelitian awal bagi Satyawati tentang Sriwijaya berdasarkan study ikonografi arca-arca Sumatera
Mengenang Satyawati Suleiman adalah salah satu tema yang diusung BWCF dalam helat arkeologi yang dipusatkan di situs Muaro Jambi November mendatang. Segudang kegiatan telah dikemas BWCF, mulai dari Pidato Kebudayaan, Launching Buku, Simposium, Ceramah Umum, Diskusi Sastra, Dialog Sastra, dan Podium Sastra
Tentu saja, dalam berbagai kegiatan BWCF, acara yang tidak pernah tertinggal adalah Meditasi. Dalam rangkaian acara di situs Muaro Jambi nanti BWCF juga mencantumkan sesi Meditasi. Selain itu akan ditampilkan juga Seni Pertunjukan seperti Malam Tari, Malam Sastra dan Malam Musik.
Para pemateri diantaranya Dr Agus Widiatmoko (Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi dan Bangka Belitung), Naoko Ito Ph.D (Hiroshima Unversity Japan) Gauri Parlomo Khrisnan Ph.D (Indian Heritage Center, Singapore), Sophia Soundstorm (Leiden Univertsity, Belanda), dan Prof Dr Uli Kozok (University of Hawai)
Selain itu ada sejumlah sastrawan tanah air yang dipercaya BWCF untuk memberikan materi dalam symposium Muaro Jambi seperti Seno Gumira Ajidarma (penulis, sastrawan), Eka Kurniawan (novelis, sastrawan), Nirwan Dewanto (penyair, budayawan), Garin Nugroho (Sutradara dan penulis scenario film).
Sedangkan untuk seni pertunjukan BWCF akan menampilkan para penyair dari dalam dan luar negeri seperti Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bahri, penyair Indonesia Sardono W Kusumo, penyair Malaysia Alfian Saat, penyair Brunei Darussalam Suip bin Haji Abdulwahab
Sementara itu, Gayatri dari BWCF memastikan seluruh rangkaian acara akan digelar di kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi dan di Kota Jambi. Kegiatan ini untuk mengenang arkeolog Satyawati Suleiman dan membaca ulang hubungan Moaro Jambi – Nalanda dan Arca-arca Sumatera.
Dari catatan yang dirangkum KuansingKita, Candi Muaro Jambi adalah kompleks percandian agama Hindu -Budha terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektar. Candi Muaro Jambi merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Lokasinya terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, tepatnya di tepi Sungai Batang Hari atau sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi
Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang serdadu Inggeris, SC Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Sekitar 150 tahun kemudian, barulah pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono.
Berdasarkan aksara Jawa Kuno pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke 7 -12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar, dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme.
Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong Satu, Candi Gedong Dua, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Telago Rajo, Candi Kembar Batu, dan Candi Astano (smh)
FOTO Dokumen BWCF