PEKANBARU (KuansingKita) – Pemerintah telah mengalokasikan lahan seluas 12,7 juta hektar untuk program Perhutanan Sosial. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Namun untuk Riau program ini baru dimulai, sementara untuk Kuansing sepertinya realisasinya sampai kini masih nihil
Dirjen Perhutanan Sosial Kementrian LHK, Dr Ir Bambang Supriyanto M.Sc melalui Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, Apri Dwi Sumarah, S.Hut, M.Sc memaparkan hal ini dalam dialog atau Ngobrol Pintar (NgoPi) bersama PWI Riau di Grandball Room Hotel Arya Duta Pekanbaru, Jumat (27/10/2023)
Apri Dwi Sumarah membeberkan ada sejumlah skema yang telah disusun pemerintah untuk program Perhutanan Sosial. Skema itu antara lain Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan ( HKm) Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Hutan Adat (HA) Kemitraan Kehutanan (KK). Untuk mendapatkan skema Perhutanan Sosial diatur dalam Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016.
Dirangkum dari berbagai catatan, skema Hutan Desa artinya kawasan hutan dikelola oleh desa dan dimanfaat untuk kesejahteraan warga desa. Hak pengelolaan diberikan kepada lembaga pengelola hutan desa atau lembaga adat dan diatur dalam peraturan desa atau adat sebagaimana diamanatkan dalam peraturan desa.
Apa yang bisa dilakukan warga desa dalam skema Hutan Desa (HD). Disebutkan di kawasan hutan lindung warga desa dapat melakukan kegiatan pemanfaatan di bawah tegakan dengan tanaman obat-obatan dan lainnya, kegiatan ekowisata serta pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selain itu penyimpanan dan penyerapan karbon serta air
Sementara, di kawasan hutan produksi, untuk skema Hutan Desa (HD), warga desa dapat melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, ekowisata, penyimpanan dan penyerapan karbon serta air
Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) diberikan kepada kelompok tani, gabungan kelompok tani atau koperasi, baik di hutan lindung maupun di hutan produksi. Dalam skema Hutan Kemasyarakatan semua kegiatan dapat dilakukan, baik untuk pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK), ekowisata, penyimpanan dan penyerapan karbon, air serta keanekaragaman hayati kecuali untuk pemanfaatan hasil hutan kayu hanya bisa dilakukan di kawasan hutan produksi.
Skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) diberikan kepada kelompok masyarakat, bisa perorangan, kelompok tani, gabungan kelompok tani atau koperasi. Di hutan produksi, mereka dapat menanam dan memanen kayu untuk keperluan industri
Skema Hutan Adat (HA) diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) baik masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Untuk Masyarakat Hukum Adat di dalam kawasan hutan diperlukan Perda MHA. Perda ini diperlukan karena status hutan adat berubah dari hutan negara menjadi hutan hak apabila didukung Perda MHA. Perubahan status hutan ini diatur dalam Permen LHK Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak
Skema Kemitraan Kehutanan (KK) diberikan pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan oleh Menteri LHK atau disebut KulinKK di areal pengeloaan hutan atau izin pemanfaatan. Pengelola hutan yaitu Perum Perhutani, KPH ( Kesatuan Pengelola Hutan). Di hutan konservasi pengelola hutan diberikan kepada Balai Besar dan Balai Taman Nasional.
Dalam dialog atau NgoPI dengan PWI Riau, Kepala Balai Perhutanan Sosial Wilayah Sumatera, Apri Dwi Sumarah menegaskan program Perhutanan Sosial tidak memberi ruang untuk tanaman sawit di hutan lindung maupun hutan produksi. Alasannya tanaman sawit tidak termasuk tanaman kehutanan.
“ Jadi program Perhutanan Sosial bukan memberi kebebasan kepada warga untuk bertanam sawit di hutan lindung maupun hutan produksi. Itu tidak boleh, tanaman sawit tidak termasuk tanaman kehutanan,” kata Apri Dwi Sumarah
Program Perhutanan Sosial ini sudah dimulai sejak 2015 lalu. Di Riau program ini baru berjalan, sedangkan untuk Kuansing masih nihil. Untuk program ini pemerintah telah mengalokasikan lahan cukup luas 12,7 juta hektar,
Namun demikian luas lahan yang dialokasikan dalam program Perhutanan Sosial ini masih jauh di bawah luas lahan sawit korporasi atau lahan milik para cukong yang sampai kini sudah mencapai 64 juta hektar secara nasional. Semoga kedepan pemerintah menaikkan luas lahan untuk program Perhutanan Sosial sehingga program ini bermanfaat untuk masyarakat terutama masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan.(smh)