Anjloknya harga sawit bermula ketika presiden Jokowi secara tegas melarang ekspor CPO. Pelarangan ini didorong oleh kondisi buruk seperti langkanya minyak goreng di pasar tradisional
Mulanya kebijakan pelarangan ekspor ini hanya untuk bahan baku minyak goreng, seprti Refined, Bleached, Deodorized (RBD) Palm Olein dengan tiga kode HS.
Namun kondisi tidak juga membaik. Di beberapa daerah harga minyak goreng ada yang mencapai Rp 70.000 per liter. Kebijakan pun diubah hanya dalam waktu semalam.
Dalam perubahan itu, presiden Jokowi secara tegas melarang ekspor CPO, RPO, RBD Palm Olein, POME dan Use Cooking Oil. Pelarangan ini dikabarkan sampai harga minyak goreng kembali Rp 14.000 per liter
Saat pelarangan itu, harga TBS mencapai Rp3.900/kilogram. Kian hari harga kian anjlok. Di Pasaman Barat seperti dilansir Kompas.com, harga TBS anjlok hingga menyentuh angka Rp 600/kilogram
Kondisi ini tentu saja membuat petani resah. Kondisi menjadi semakin buruk ketika kaum kapitalis yang memiliki perkebunan puluhan ribu hektar lewat asosiasinya mulai angkat bicara
Mereka bicara di pentas nasional seraya menjadikan nasib petani sebagai alasan untuk menaikkan harga TBS. Menjadikan nasib petani sebagai alasan untuk membatalkan larangan ekspor
Memang dalam Permentan nomor 01 tahun 2018 disebutkan penetapan harga TBS kewenangannya dilimpahkan kepada Gubernur dan Tim penetapan harga termasuk dinas terkait dan bupati.
Namun dalam kondisi carut marut saat ini tak ada korporasi yang mengindahkan imbauan gubernur. Ada banyak alasan mereka seperti over supply, sehingga PKS tidak membeli TBS petani.
Untuk penetapan harga TBS per Minggu biasanya digunakan referensi Menteri Perdagangan. Selain itu ada juga yang mengacu pada harga CPO dari hasil lelang. Namun yang paling dominan adalah sentiment pasar dunia
Kini masalahnya, jika harga TBS naik, tentu harga minyak goreng naik. Kenapa tidak, bahan baku minyak goreng dari minyak mentah kelapa sawit. Jika harga minyak goreng naik, seluruh rakyat menderita
Lantas apa langkah terbaiknya ? Biarkan saja harga sawit rendah agar harga minyak goreng di pasar tradisional bisa terjangkau. Sebab minyak goreng sangat dibutuhkan semua rumah tangga
Namun demikian, pemerintah harus mampu menekan harga pupuk menjadi sangat rendah. Sebab keluhan petani bukan rendahnya harga sawit tapi tingginya harga pupuk. Jadi pemerintah harus mampu menyiasati harga pupuk menjadi terjangkau
Jika harga sawit berkisar antara Rp 1400-Rp1500 per kilogram. Petani tidak akan mengeluh jika harga pupuk berkisar Rp 100 ribu per Sak, tidak seperti saat ini harga pupuk melambung tinggi hingga jutaan rupiah per Sak
Tapi mungkinkah pemerintah mampu ? Ini pertanyan berat. Pasalnya bahan baku pupuk produksi PT Pupuk Indonesia masih mengandalkan fosfat dari China Begitu juga Kalium dan SPV masih dari Rusia.
Kini China sebagai produsen fosfat melakukan proteksi. Akhirnya harga pupuk melambung tinggi. Sedangkan Rusia tengah berkecamuk perang dengan Ukraina. Belum lagi dunia tengah dilanda krisis shiping untuk mengangkut pupuk
Tapi apapun itu, pemerintah harus mampu menyiasati harga pupuk yang dapat terjangkau oleh petani, bukan menaikkan harga sawit. Biar saja harga sawit, Rp 1400/kilogram tapi harga pupuk Rp 100 ribu per Sak.
Ada banyak alasan untuk tidak perlu menaikkan harga sawit, diantaranya produsen minyak goreng tak mampu berproduksi sehingga terjadi kelangkaan akhirnya harga minyak goreng melambung tinggi. Jadi pemerintah tidak perlu menaikkan harga sawit*****