TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Hari ini 7 September 2021 sudah 17 tahun aktivis HAM, Munir Said Thalib tewas dibunuh.
Munir dibunuh saat dalam penerbangan dengan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 pada 7 September 2004.
Ketika itu, aktivis HAM asal Surabaya ini dalam perjalanan 12 jam dari Jakarta ke Bandara Schiphol, Belanda.
Tiga jam setelah pesawat Garuda Indonesia yang ditumpanginya lepas landas dari Bandara Changi, Singapura, Munir mulai merasakan sakit
Pantun Matondang, pilot dalam penerbangan itu meminta awak kabin terus memonitor kondisi Munir yang bolak balik ke toilet.
Munir dipindahkan ke sebelah penumpang yang berprofesi sebagai dokter. Dua jam sebelum mendarat, Munir meninggal dunia.
Dua bulan setelah kematian Munir, muncul berita mengejutkan. Kepolisian Belanda mengungkap bahwa Munir tewas akibat diracun.
Dokter forensik National Forensic Institute (NFI) Belanda, menemukan racun arsenik dalam jumlah yang signifikan pada tubuh Munir.
Komposisi racunnya cukup untuk melumpuhkan seekor sapi besar. Di pengadilan terungkap, racun diberikan melalui minuman jus jeruk
Munir diberi minuman jus jeruk saat di pesawat. Ini terungkap dari surat dakwaan Pollycarpus Budihari Priyanto, yang juga pilot Garuda
Pollycarpus yang ikut terbang bersama Munir ke Belanda, menjadi terdakwa dan terpidana dalam kasus kematian Munir.
Ia dihukum 14 tahun penjara sebagai pelaku pembunuhan Munir. Pollycarous memperoleh bebas bersyarat pada 2014
Empat tahun kemudian, 29 Agustus 2018, Pollycarpus bebas murni. Pada 17 Oktober 2020, Pollycarpus meninggal akibat terpapar Covid 19.
Banyak yang menarik dari keberadaan Pollycarpus dalam penerbangan bersama Munir. Saat itu, seharusnya status Pollycarpus cuti.
Namun, ia justru satu pesawat dengan Munir. Hal itu diketahui dari film dokumenter Garuda’s Deadly Upgrade (2005).
Dalam film itu diperlihatkan surat tugas Nomor GA/DZ-2270/04 tertanggal 11 Agustus 2004 yang ditandatangani oleh Dirut Garuda, Indra Setiawan.
Gara-gara surat itu pula, Indra turut menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir. Ia divonis 1 tahun penjara pada 11 Februari 2008.
Di persidangan, Indra membantah keras ikut terlibat. Namun, muncul dugaan bahwa surat tugas itu dibuat setelah Indra menerima surat dari BIN
Akhirnya, Deputi V BIN, Mayjen Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono terseret dalam perkara ini. Muchdi PR diperiksa oleh kepolisian.
Namun, di dalam persidangan pada 13 Desember 2008, Muchdi Purwoprandjono akhirnya divonis bebas dari segala dakwaan.
Meski Pollycarpus Budihari Priyanto dan Indra telah divonis, hingga saat ini, kematian Munir belum menemui titik terang.
Padahal setahun lagi kasus pembunuhan Munir akan kedaluwarsa. Ini lantaran perkara itu hanya dianggap sebagai pembunuhan berencana biasa.
Karena itu, hak penuntutan perkara Munir ini akan gugur atau kedaluwarsa setelah 18 tahun. Sementara kasus Munir ini hampir memasuki 18 tahun.
Sebenarnya temuan Tim Pencari Fakta (TPF) dan fakta persidangan menyebutkan ada dugaan keterlibatan intelijen negara dalam peristiwa ini
Namun, anehnya, dokumen Tim Pencari Fakta itu hilang. Dokumen TPF tidak ada lagi ditemukan di Kementerian Sekretariat Negara.
Untuk dokumen yang hilang itu, banyak pihak saling lempar kesalahan Kontras menggugat hingga Mahkamah Agung, tetapi ditolak.
Akhirnya penegakan hukum atas kasus pembunuhan Munir tidak tuntas sampai ke akarnya. Hanya eksekutor dan perantara seperti Pollycarpus dan Indra yang diproses hukum.
Sementara otak dari pembunuhan ini dibiarkan bebas tanpa terjerat hukum Padahal semuanya jelas tertuang dalam dokumen TPF.(dirangkum dari berbagi sumber/smh)
Sumber foto (Tribunenews/Surya/Hayu Yudha Prabowo)