TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Permohonan sengketa Pilkada Kuantan Singingi 2020 telah disampaikan pasangan H.Halim- Komperensi ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan H.Halim – Komperensi ini disampaikan melalui kuasa hukumnya pertengahan Desember 2020 lalu
Namun permohonan H.Halim – Komperensi ini tidak masuk dalam 25 daerah yang memenuhi syarat ambang batas 0,5 hingga 2 persen. Syarat ambang batas ini diatur dalam pasal 158 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan dalam Lampiran V Peraturan MK Nomor 6 tahun 2020
Dikutip dari Republika.co.id, ada total 136 permohonan perselisihan hasil perolehan suara Pilkada atau sengketa Pilkada yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Dari jumlah itu, hanya 25 permohonan yang memenuhi syarat ambang batas.
Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (7/1/2020) seperti dilansir Republika.co.id mengatakan untuk pemilihan gubernur hanya dua permohonan yang lolos ambang batas.
“ Untuk pemilihan gubernur, dari enam daerah dengan tujuh permohonan, terdapat dua permohonan yang dipastikan lolos ambang batas, yakni pemilihan gubernur Jambi dan Kalimantan Selatan,” kata Muhammad Ihsan.
Untuk pemilihan bupati, dari 96 daerah yang hasil pemilihannya disengketakan ke Mahkamah Konstitusi, hanya sebanyak 22 daerah yang permohonannya masuk ambang batas. Dari 22 daerah kabupaten ini tidak termasuk permohonan dari Kuantan Singingi.
Daerah kabupaten yang permohonan sengketa Pilkadanya masuk ambang batas diantaranya Kabupaten Inderagiri Hulu. Lainnya, Kabupaten Karimun, Sumba Barat, Nabire, Mandailing Natal, Kotabaru, Sumbawa, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan
Kabupaten Solok masuk daerah memenuhi syarat ambang batas. Selanjutnya Panukal Abab Lematang Ilir. Tasikmalaya, Tojo Una-Una, Morowali Utara, Rokan Hulu, Malaka, Rembang, Sekadau, Purworejo, Konawe Selatan, Teluk Wondama dan Lingga.
Sebenarnya banyak pihak berpandangan MK tidak usah terkekang oleh pasal 158 UU Pilkada demi menegakkan keadilan substantif. Pasalnya, beberapa pemohon menilai banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU, Panwas/Bawaslu sehingga MK menjadi tumpuan harapan para pemohon.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun juga mempertanyakan apakah MK akan kembali pada cara berpikir generasi hakim MK sebelumnya yang berpegang pada prinsip keadilan substantif. Dalam arti, MK tidak terpaku pada soal hitung-hitungan angka, tetapi juga menilai seluruh proses pilkada
“Hakikatnya, penyelenggaraan Pilkada harus dilakukan secara demokratis. Kalau perbedaan lebih dari 2 persen, tetapi dengan kecurangan aneh kalau ditolak” kata Refly Harun seperti dikutip dari situs Hukum Online
Refly berpendapat seharusnya MK tetap berpegang pada doktrin keadilan substantif dengan melihat posisi kasusnya seperti apa. Kalau dalilnya tidak kuat bisa ditolak. Tetapi, kalau dalilnya kuat maka pembatasan Pasal 158 UU Pilkada seharusnya bisa diterobos.
Sementara itu, mengutip situs resmi MKRI, Mahkamah Konstitusi tetap konsisten menerapkan pasal 158 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 158 ini mengatur syarat ambang batas permohonan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.(smh)