SALAM REDAKSI – Baru saja reda hiruk pikuk tentang APBD Perubahan 2019, negeri Kuansing ini akan dihadapkan lagi pada kemelut APBD 2020. Tampaknya kemelut APBD 2020 ini tidak akan kalah serunya dari kemelut APBD Perubahan 2019.
Apa kemelut yang akan muncul. Begini, eksekutif sudah memasukkan rancangan KUA- dan rancangan PPAS sejak 12 Juli 2019. Tapi sampai akhir masa jabatan DPRD priode 2014-2019 rancangan KUA-PPAS ini tidak pernah dibahas, bahkan tahapannya tidak pernah dijadwalkan.
Padahal rancangan KUA-PPAS itu dimasukan eksekutif sudah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam Permendagri 33 tahun 2019 tentang pedoman Penyusunan APBD 2020 dan PP nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yakni minggu kedua bulan Juli.
Dalam pasal 91 PP nomor 12 tahun 2019 secara sangat jelas disebutkan rancangan KUA-PPAS yang tidak disepakati terhitung enam minggu sejak rancangan KUA-PPAS itu disampaikan ke DPRD maka kepala daerah diharuskan menyampaikan rancangan Perda APBD.
Artinya, berdasarkan pasal 91 PP nomor 12 tahun 2019 secara implisit sudah disebutkan bahwa rancangan KUA-PPAS yang tidak disepakati terhitung enam minggu sejak disampaikan ke DPRD sudah ditetapkan sebagai KUA-PPAS yang bisa dijadikan dasar penyusunan RKA.
Karena waktu enam minggu itu sudah terlewati, eksekutif juga sudah menyampaikan rancangan Perda APBD ke DPRD untuk dibahas. Herannya lagi, sampai akhir masa jabatan DPRD priode 2014-2019, rancangan KUA-PPAS dan rancangan perda APBD 2020 tidak pernah dibahas.
Kini DPRD mulai menjadwalkan pembahasan APBD 2020, bahkan di sejumlah media massa Sekwan Mastur menyebutkan pembahasan akan dimulai dari pembahasan KUA-PPAS. Ini tentu akan menimbulkan polemik karena KUA-PPAS yang akan dibahas itu sudah memiliki kekuatan hukum.
KUA-PPAS itu sudah bisa dijadikan dasar bagi OPD untuk menyusun RKA yang akan dijadikan draft rancangan perda APBD 2020. Bahkan draft rancangan perda APBD 2020 sudah disampaikan pula ke DPRD, namun selama ini tidak pernah pula dibahas.
Kalaulah alasan DPRD untuk membahas KUA-PPAS ini karena pergantian priode ini tentulah sangat tidak tepat dan tidak memiliki dasar hukum. Sebab tahapan-tahapan pembahasan dan pelaksanaan APBD bukan mengacu pada priodesasi.
Dicontohkan ketika pasangan Mursini-Halim dilantik 1 Juni 2016, pasangan yang dilantik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah ini diharuskan melaksanakan APBD 2016 yang disusun melalui tahapan pada priode pemerintahan sebelumnya.
Begitu pula anggota DPRD yang dilantik 9 September 2019 lalu. Mereka tidak perlu mengulang tahapan pembahasan APBD yang sudah dilewati pada priode sebelumnya. Mereka tinggal melanjutkan tahapan pembahasan yang belum dilalui. Pembahasan dan pelaksanaan APBD tidak tergantung pada priodesasi
Kalaulah alasan DPRD karena pergantian priode, sudah disebutkan tadi, sangatlah tidak tepat dan tidak memiliki dasar hukum. Bagaimana kalau pergantian priode anggota DPRD itu berlangsung dipenghujung November, tentu tidak ada lagi waktu membahasnya.
Nah, KUA-PPAS itu sudah memiliki kekuatan hukum, apa perlu dibahas lagi ???. Namun demikian, tentulah tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan. Disinilah nanti diminta komunikasi yang baik antara legislatif dan eksekutif agar eksekutif bersedia membahas ulang KUA-PPAS.
Dengan membangun komunikasi untuk sebuah iktikad yang baik tentulah semua pihak akan bisa menerima. Namun demikian, tentu perlu pula kita beri catatan agar kedepan DPRD menjadawalkan tahapan pembahasan APBD itu harus mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Tahapan pembahasan APBD sudah diatur dalam Permendagri 33 tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2020 dan PP nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Disitu jelas sekali tahapannya dan tahapan-tahapan itu harus dipatuhi serta dijadikan acuan untuk menyusun jadwal pembahasan.***