Tuduhan pemilu curang sesungguhnya sesuatu yang wajar dalam sebuah kontestasi politik di era postmodernisme, di mana fakta-fakta dapat didesain menyerupai kebenaran. Kewajaran ini berlaku di benak semua pelaku politik yang saling berebut kekuasaan. Dalam usaha merebut kekuasaan yang tahapannya sangat lama dan melelahkan, lalu hasil akhirnya kalah, maka naluri sebagai manusia politik adalah jelas menolaknya.
Embusan curang terstruktur, sistematis ,dan masif adalah senjata yang ditembakkan setiap waktu kepada penyelenggara pemilu dan lawan politiknya. Senjata tersebut diselipi isu-isu fundamental seperti agama agar mampu “merawat” sisi emosional pendukungnya. Namun terlepas dari skema perebutan kekuasaan, para pelaku politik sebelum ikut kontestasi sudah menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu melalui jalur hukum.
Mengapa dipilih jalur hukum? Di titik ini para pelaku politik sadar, hanya dengan mekanisme hukum yang mampu menyelesaikan sengketa perebutan kekuasaan. Mekanisme hukum yang disepakati adalah peradilan konstitusi yang putusannya juga disepakati final dan mengikat. Mengapa disepakati final dan mengikat? Agar urusan pemilu cepat selesai dan pemenangnya cepat bertindak sebagai pengendali kekuasaan negara.
Para pelaku politik tidak ingin persoalan bangsa hanya terjebak dalam sengketa hasil pemilu. Lagi-lagi di titik inilah para pelaku politik sadar akan kepentingan negara, bahkan mereka naik level sebagai negarawan karena bukan hanya menempatkan hukum sebagai pertarungan terakhir, cara berhukumnya pun revolusioner dengan membentuk sifat putusan yang final dan mengikat, serta prosesnya cepat dan akurat.
Ada adagium dalam hukum bahwa putusan yang adil pun akan kehilangan makna apabila prosesnya terlalu lama (justice delayed, justice denied). Kelebihan putusan final dan mengikat ini terletak pada daya jangkaunya yang mengikat kepada semua komponen bangsa (erga omnes). Bukan hanya mereka yang bersengketa, tetapi juga berimplikasi kepada pemerintah, DPR/DPD, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kekuasaan lain yang diatur oleh Undang-Undang Dasar.
Dalam memutus sengketa pemilu, konstitusi digunakan sebagai batu uji. Menggunakan konstitusi sebagai batu uji merupakan bukti kesungguhan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam membuat putusan. MK tidak sekadar melihat sengketa pemilu dari deretan alat bukti maupun kesaksian, namun lebih dari itu memaknai sengketa pemilu sebagai kerugian hak konstitusional warga yang sangat dilindungi konstitusi. Artinya, putusan MK merupakan terjemahan dari nilai konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.
Tidak ada batu uji yang lebih tinggi dari konstitusi. Maka putusan tersebut mutlak, final, dan mengikat. Konstitusi menurut Satjipto Rahardjo adalah dasar dan landasan dari ribuan perundang-undangan. Konstitusi menggunakan bahasa asas yang tidak lain adalah bahasa moral. Membaca konstitusi tidak sama dengan membaca peraturan biasa melainkan sebagai pesan moral. Dengan skema seperti ini, cukup “menguntungkan” bagi kontestan politik yang kalah sebagai pihak pencari keadilan.
Tuduhan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif akan menemui keadilannya di MK. Jika masih ragu dan tidak cukup dengan sifat putusan yang final dan mengikat, serta menggunakan konstitusi sebagai batu ujinya, lagi-lagi para pelaku politik sudah mengantisipasi dengan cara membentuk aturan bahwa proses persidangan di MK didesain transparan dan terbuka agar bisa dipantau publik. Semua kompromi para pelaku politik tertuang dalam Undang-Undang MK.
Lalu di mana peran KPU dalam persidangan MK? KPU bertindak selaku termohon yang produk hukumnya diuji di MK. Berdasarkan catatan say sepanjang sengketa pemilu sejak 2004, KPU selalu konsisten menjalankan putusan MK. Bahkan putusan MK (di luar sengketa pemilu) yang melahirkan norma baru seperti administrasi pemilu (putusan MK soal DPT 2009 dan perpanjangan masa pendaftaran pemilih pada 2019) langsung ditindaklanjuti oleh KPU.
Tidak cukup di situ, KPU juga tunduk patuh terhadap putusan MK dalam pencoretan nama Oesman Sapta Oedang (OSO) sebagai calon DPD, sekalipun OSO menang di Mahkamah Agung. Posisi KPU yang konsisten dengan putusan MK bertolak belakang dengan lembaga negara lain yang tidak patuh terhadap MK. Sebut saja DPR yang tidak mencantumkan putusan MK yang membatalkan aturan pemenang pilpres berdasarkan sebaran suara di mayoritas provinsi di Indonesia Pasal 159 Ayat (1) UU 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres.
Pasal yang ditafsirkan MK bahwa pemenang pilpres (jika terdapat dua pasangan) adalah peraih suara terbanyak tanpa memperhatikan sebaran suara dicantumkan lagi dalam Pasal 416 Ayat (1) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Artinya KPU lebih patuh terhadap konsekuensi putusan MK. Tidak seperti DPR yang kecenderungannya abai terhadap putusan MK. Maka sewajarnya cara berhukum yang final dan mengikat serta cepat dan akurat hingga KPU yang patuh terhadap putusan MK difungsikan sebagai jalur resmi penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Saat awal pembentukan mekanisme ini, para pelaku politik sudah naik level sebagai negarawan. Seharusnya saat menjalankan kesepakatan yang mereka buat jangan turun lagi sebagai politikus yang rakus kekuasaan. Kesepakatan mekanisme pemilu agar berkualitas seperti ini tersirat pesan moral bahwa para pelaku politik harus siap kalah siap gugat, atau siap kalah dan siap sadar kalah.
M. Nizar Kheridmahasiswa Magister Hukum Tata Negara Undip, peneliti hukum dan konstitusi