TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Mantan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kuantan Singingi H Saifulah Aprianto menilai surat Kesepakatan Pemberian Kewenangan dari Drs H.Mursini,M.Si sebagai pihak pertama kepada H.Halim sebagai pihak kedua dibuat dalam keadaan galau.
Kepada KuansingKita H.Saifulah Aprianto membeberkan banyak sekali indikasi yang menunjukkan kesepakatan itu dibuat dalam keadaan galau. Diantaranya kata H Saifulah umur H.Halim tertulis 1965, jabatan H.Halim ditulis 53 Tahun dan alamat H.Halim ditulis Wakil Bupati.
Sementara, surat kesepakatan yang dipenuhi kesalahan yang sangat fatal itu ditandatangani 5 orang yang seluruhnya adalah pejabat teras Pemkab Kuansing. Kelima orang yang menandatangani surat itu, Bupati H.Mursini, Wabup H.Halim, Sekda Dianto Mampanini, Kepala BPKAD, Hendra AP dan Kepala Inspektorat (Inspektur) Hernalis.
“ Seharusnya mereka cermat bahwa surat yang ditandatangani itu penuh kesalahan yang sangat fatal,” kata Saifulah
Menurut Saifulah, selain indikasi tadi, masih ada indikasi lain yang membuktikan bahwa mereka menyusun kesepakatan tersebut dalam keadaan galau. Kesepakatan itu kata Saifulah adalah kesepakatan politik, kesepakatan antara H.Mursini dan H.Halim sebagai pemangku jabatan politik.
“ Itu bukan surat kesepakatan yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan. Itu kesepakatan politik,” kata Saifulah.
Sebaiknya saran Saifulah, mereka yang terlibat sebagai saksi dalam surat kesepakatan itu cukup memuatkan namanya saja, bukan jabatannya. Namun dari yang terbaca dalam surat kesepakatan yang kini beredar, Dianto Mampanini memuat jabatan Sekda, Hernalis memuat jabatan Inspektur dan Hendra AP memuat jabatan Kepala BPKAD.
Jika memuat jabatan kata Saifulah, surat kesepakatan pelimpahan kewenangan itu harus dibenarkan peraturan perundang-undangan. Kini dipertanyakan, apakah kesepakatan seperti itu dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan. Kespakatan itu katanya tidak dibenarkan peraturan perundang-undangan.
“ Jadi kalau tidak dibenarkan peraturan perundang-undangan tidak perlu dimuat jabatan. Itu kesepakatan politik. Masak Sekda tak tau itu. Nah kini terbukti lagi bukan, itu salah satu indikasi galau,” katanya
Kendati begitu, Saifulah mengatakan kesepkatan itu bukan berarti tidak boleh ada sama sekali. Sepanjang kesepakatan itu masih dalam ranah politik, kesepakatan itu boleh-boleh saja karena mereka adalah pejabat politik, sehingga wajar kalau mereka membuat kesepakatan politik. Namun, apapun bentuk kesepakatan mereka, keputusannya tetap dengan pertimbangan peraturan perundang-undangan.
“ Boleh-boleh saja mereka membuat kesepakatan, keptusannya tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan. Itu kesepakatan politik makanya saksi tidak perlu memuat jabatan,” ujarnya.