SALAM REDAKSI – Peristiwa masa lalu yang dicatat sejarah sebagai peristiwa besar dan menjadi pembelajaran banyak negara salah satunya adalah Revolusi Perancis. Peristiwa itu terjadi ketika Perancis berada pada priode sosial radikal dan pergolakan politik yang meruncing (1789-1799).
Kala itu, rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik. Rakyat membuat perlawanan dan pergolakan yang mahadahsyat. Akibatnya feodalisme, aristokrat dan monarki absolut yang sudah mengakar berabad-abad, runtuh seketika.
Ada satu hal yang menjadi catatan menarik dari gerakan kaum jelata dalam Revolusi Perancis. Mereka disatukan sebuah frasa yang kemudian dijadikan semboyan “Liberte, Egalite, Freternite”. Semboyan inilah yang membakar semangat kaum jelata.
Rakyat yang sudah sangat menderita oleh berbagai krisis termasuk krisis keuangan ketika disuguhi semoboyan “Liberte, Egalite, Freternite” langsung bergejolak. Semboyan itu telah membangun kebencian rakyat kepada kepemimpinan Louis XVI yang mereka tuding tidak berpihak kepada kaum jelata.
Fenomena ini mengingatkan kita pada hashtag #2019GantiPresiden yang kemudian menjadi semboyan perlawanan rakyat. Hashtag ini lahir dari teknik agenda setting yang dikemas begitu apik dan begitu tepat sehingga mampu menciptakan narasi kebencian rakyat kepada pemimpin mereka.
Semboyan itu tanpa disadari telah membuat rakyat diperangkap kedalam mimpi-mimpi utopis. Karena itu, rakyat marah, meradang, mereka bicara tentang ketidakpuasan, mereka tumbuh sebagai kelompok penentang. Nah gejolaknya akan dilampiaskan 17 April nanti.
Dalam Revolusi Perancis, apa yang telah membuat rakyat melakukan perlawanan, tak berbeda jauh dengan penyebab pergolakan yang terjadi di banyak negara. Itu semua karena cita – cita bernegara belum tercapai.
Apalagi, bernegara bagi rakyat selalu tentang sebuah mimpi utopis, tentang sebuah tatanan idealis yang sempurna, padahal sesungguhnya negara utopis itu belum pernah ada di dunia. Itu hanya disajikan dalam khayal Sir Thomas More tentang sebuah pulau utopis di Samudera Atlantik.
Utopia merupakan suatu komunitas atau masyarakat imaji dengan kualitas-kualitas yang sangat didambakan. Utopia adalah sebuah komunitas yang nyaris sempurna, namun belum pernah ada di dunia.
Namun cita-cita utopis inilah yang seringkali membuat rakyat hampir di seluruh belahan bumi bergolak sejak dulu. Utopis, itulah alasan yang sering ditemukan dalam setiap gerakan perlawanan rakyat.
Mimpi utopis juga menjadi penyebab perlawanan rakyat dalam Revolusi Perancis. Rakyat menginginkan perubahan radikal atas dasar ketidakpuasan, padahal ketidakpuasan yang selalu mereka jadikan alasan tidak mereka fahami sama sekali.
Tapi itulah yang menjadi alasan rakyat bergerak, itulah yang membuat rakyat Perancis melawan tiada ampun. Louis XVI bersama ribuan pengikutnya dieksekusi mati pada 1793, lalu sebuah negara Republik Perancis berdiri.
Setelah Lousi XVI dan ribuan pengikutnya dieksekusi mati, lantas apa yang terjadi ?. Inilah yang perlu direnungkan. Ternyata lepas dari mulut harimau, rakyat Perancis meronta-ronta di mulut buaya.
Semboyan Liberte, Egalite, Fraternite di masa – masa awal perjuangan ternyata hanya dusta besar belaka. Semboyan itu dikemas hanya guna menggelegakkan darah rakyat untuk jadi pion – pion revolusi.
Setelah perjuangan rakyat berhasil, lalu pemerintahan sadis pun terjadi di bawah Diktator Maximilien Roberspierre. Sejarah mencatat, sedikitnya 40 ribu rakyat Perancis meregang nyawa, mereka dibantai diktator secara sadis.
Rakyat mengalami penderitaan yang lebih perih dari sebelumnya. Akhirnya rakyat terpaksa melakukan perlawanan lagi. Perlawanan rakyat berhasil, Roberspierre pun dimatikan dengan cara tidak hormat, pada 1799.
Roberspierre diganti oleh Napoleon Bonaparte, seorang mantan perwira altileri yang disegani. Apakah selepas Roberspierre dimatikan dan diganti Napoleon rakyat Perancis akan baik – baik saja? Oh…tidak!
Kekuasaan hanya bersalin muka, dari monarki absolut yang dilumpuhkan menjadi republik demokratik sekuler radikal. Roberspierre diktator sadis, digantikan Napoleon yang otoriter dan militeristik.
Lantas apa yang diperoleh rakyat. Rakyat yang penuh derita saat aksi perlawanan, tetap saja menderita dan terus menderita. Kenapa ? Tentu saja karena mereka hanyalah rakyat jelata.***