SALAM REDAKSI – Pembaca yang budiman, Kamis (30/3/2017), rencananya Pospera (Posko Perjuangan Rakyat) Kuantan Singingi akan menggelar aksi unjuk rasa.
Untuk itu, KuansingKita.com akan berbagi sedikit pengetahuan tentang seluk beluk aksi unjuk rasa dan aturan yang mengaturnya.
Sebenarnya aksi unjuk rasa bukanlah perbuatan melanggar hukum. Unjuk rasa adalah bentuk penyampaian pendapat di muka umum.
Penyampaian pendapat di muka umum adalah hak azasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Unversal HAM.
Unjuk rasa adalah perwujudan demokrasi dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian, unjuk rasa tentulah tidak bisa digelar sebebas-bebasnya.
Karena itu pemerintah mengaturnya dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Berdasarkan UU nomor 9 tahun 1998, ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengunjukrasa dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Diantaranya menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral yang diakui umum, mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Kewajiban lainnya menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika kewajiban ini diabaikan aksi unjuk rasa bisa dibubarkan. Di Kuantan Singingi aksi unjuk rasa juga bias dibubarkan kalu menggelar aksi di tempat ibadah, rumah sakit, terminal angkutan darat.
Selain itu, unjuk rasa bisa juga dibubarkan jika peserta unjuk rasa membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Penyampaian pendapat di muka umum atau unjuk rasa wajib diberitahukan secara tertulis kepada polisi oleh pemimpin dan penanggungjawab kelompok selambat-lambatnya 3×24 jam sebelum kegiatan dimulai.
Surat pemberitahuan berisi, maksud dan tujuan, tempat lokasi dan rute, nama dan alamat organisasi, alat peraga yang digunakan, penanggungjawab dan jumlah peserta.
Jika pemberitahuan ini tidak dilakukan maka aksi unjuk rasa juga bias dibubarkan. Ini diatur dalam pasal 15 UU nomor 9 tahun 1998.
Sepanjang pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum memenuhi semua kewajiban itu, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab pula untuk beberapa hal.
Diantaranya melindungi hak azasi manusia, menghargai azas legalitas, menghargai prinsip praduga tak bersalah, serta menyelenggarakan pengamanan.
Dalam hal pengamanan, Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Polri bertanggungungjawab pula menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai prosedur yang berlaku.
Namun demikian dalam aksi unjuk rasa sering kita lihat terjadi aksi saling pukul, saling lempar dan saling kejar antara petugas pengamanan dan peserta unjuk rasa.
Ini seharusnya tidak perlu terjadi jika petugas pengamanan dan peserta unjuk rasa sama-sama mematuhi peraturan perundang-undangan.
Dalam Peraturan Kapolri nomor 9 tahun 2008 diatur tentang cara penindakan dalam penyampaian pendapat di muka umum yang telah melanggar ketentuan perundang-undangan.
Polri harus menerapkan tindakan yang professional, proporsional dan mempertimbangkan beberapa azas dalam pasal 3 Perkapolri nomor 9 tahun 2008.
Metode penindakan juga harus dilakukan dari metode yang paling lunak sampai paling tegas. Misalnya memberi peringatan, menghentikan pelaku yang melakukan tindakan menyimpang, menghentikan kegiatan seluruhnya,
Jika upaya itu tidak juga membuahkan hasil barulah membubarkan massa dan melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi.
Ini juga dilakukan untuk aksi unjuk rasa yang telah mengganggu lalu lintas, ketertiban umum, dan perbuatan anarkis.
Namun demikian, Polri juga diingatkan untuk bisa membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta unjuk rasa yang tidak terlibat pelanggaran hukum .
Ini dimaksudkan agar tidak terjadi salah tangkap yang memancing kerusuhan meluas.
Lewat media televisi sering terlihat petugas pengamanan ketika menangkap peserta unjuk rasa terus main seret dan main pukul. Tindakan seprti ini sebenarnya sangat tidak boleh dilakukan.
Dalam pasal 23 ayat (2) Perkapolri nomor 9 tahun 2008, pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan dan sebagainya).
Bahkan Polri tidak diharuskan melakukan upaya penangkapan seketika, kalau upaya penangkapan itu akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Untuk itu, penangkapan dilakukan Polri dikemudian hari.
Dalam Perkapolri nomor 9 tahun 2008 ada juga sejumlah larangan yang tak boleh dilakukan dalam penyampaian pendapat di muka umum.
Larangan itu diantaranya menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia.
Selain itu, menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Semoga saja ini tidak akan terjadi dalam aksi unjuk rasa Kamis esok.***