Salam Redaksi
Pembaca yang budiman. Tentu kita masih ingat ketika negeri ini dilanda krisis ekonomi sekitar tahun 1997 lalu, banyak daerah di Indonesia yang sangat menderita. Harga melambung tinggi, sementara nilai tukar rupiah semakin anjlok.
Bahkan sejumlah bank di negeri ini terkapar, bangkrut, perusahaan banyak yang pailit, pengusaha benar-benar dibuat pusing tujuh keliling. Belum lagi hiruk-pikuk politik yang menuntut Presiden Soeharto turun dari singgasana.
Namun kondisi itu sangat berbeda di Kuansing. Di negeri Kuansing, para petani karet justeru tengah berpesta pora. Bagaimana tidak, harga karet melambung tinggi, bahkan mencapai Rp 24 ribu per kilogram. Harga yang melonjak tinggi ini bertahan cukup lama.
Warga pun mulai sibuk membangun rumah, membeli (kredit) sepeda motor dan peralatan rumah tangga lainnya. Sejak itu, sepeda motor yang sebelumnya barang mewah, mulai masuk desa. Satu rumah tangga bisa terkadang memiki 3 unit sepeda motor.
Kian tahun, harga karet mulai mengendor dan terus mengendor. Bahkan beberapa bulan lalu, harga karet di Kuansing sempat anjlok hingga Rp 4500 per kilogram. Petani karet menjerit, sebagian mereka beralih profesi sebagai penambang emas illegal atau PETI.
Harga karet yang anjlok ini juga bertahan cukup lama. Barulah beberapa pekan lalu harga karet mulai membaik lagi, namun harganya belumlah seperti tahun 1997. Harga saat ini masih berfluktuasi pada kisaran Rp 10 ribu per kilogram.
Hanya saja, harga karet yang memburuk di Kuansing saat ini menjadi tanda tanya besar. Bagaimana tidak, disaat karet petani Kuansing di tingkat pedagang pengumpul dibayar dengan hharga sekitar Rp 4500 per kilogram, paberik karet di kawasan Dessa Logas justeru bisa menampung karet dari luar daerah.
Inilah yang menjadi tanda tanya besar. Kalau harga karet di tingkat pedagang pengumpul sekitar Rp 4500 per kilogram, keuntungan karet pedagang dari luar daerah itu dipastikan tidak bisa untuk menutupi biaya transportasi. Pasalnya sebagian besar pedagang itu datang dari Lampung dan Palembang. Namun transaksi tetap saja berlangsun lancar.
Karena itu tidak ada salahnya, kalau dinas terkait ataupun DPRD Kuansing untuk menelusuri apa yang tengah terjadi dengan harga karet petani di Kuansing. Lantas bagaimana paberik karet menghitung harga karet petani Kuansing. Baik hitung-hitungan berdasarkan K3 atau kadar karet kering ataupun pola hitung harga lainnya.
Sehingga ke depan, karet petani tidak lagi dimainkan pihak pengusaha seperti meregang karet (kojai), ketika ditarik panjang lalu dilepas lagi jadi pendek. Ataukah memang harga karet petani Kuansing ini sudah ditakdirkan seperti karet (kojai). Tapi kenapa harus begitu, harga karet kok seperti karet.***