Ardilo Indragita Bin Aidir. Asal Desa Pulau Kedundung. Lahir di Telukkuantan, Kuansing, Riau 27 Februari 1994. Menggemari puisi sejak akhir tahun 2015. Pernah meraih penghargaan di bidang menulis tingkat nasional.Bergiat di FLP Riau. Kini sedang menimba ilmu di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UR. Puisi Ardila sering dimuat di Riau Pos, Media Indonesia dan sejumlah media lainnya.
Misi Membawamu Pulang
kaukah yang menjadi keabadian di paruh musim?
kaukah penanti bayang di balik halimun itu? atau,
kabar tentangmu tilas alang belaka?
yang kujejali selepas sebuah perjalanan ganjil
demi memulangkan tubuh kekasih
aku teramat ingin mendengarkan lagi bising
percakapan kita
aku penat menafi kisah kait jemari sementara aku acap memangkumu
kembalilah, sebelum gumamku menjadi lagu satir
dan kau kinjat seakan-akan habis menelan selautan daun tengguli di gigil tubir
Pekanbaru-Teluk Kuantan, 2016
Debu
jangan terlalu mengedik menghidu aroma debu
zaman sepuh. sebab, ia bukannya senikmat
desau dedaun basah selepas purna kemarau menahun.
kelak, pagutkan aku dengan sehelai kain putih
terbaik.
kain yang kau tenun sebersih cintamu sendiri. kain yang
tak pernah diusik barang oleh secuil debu sejak pertama kali
ia dibuat. yang benar-benar terjaga kesuciannya. yang
bersamanya kegelisahan pernah terasa
hilang-datangnya.
walau kepadanya, terkadang aku pakai lupa
segala. lantas,
sebagaimana berita kemalangan lainnya,
barangkali
ada benarnya aku kau katakan sebagai pemeran utama yang
penuh noda, dengan muara segala ini kisah, ialah simpuhku
di hadapan sebuah surau tua. masa tuntas tanyaku; pahit mana,
lamur debu atau buta mataku
Teluk Kuantan, 2016
Di Batang Kuantan, Saban Malam Aku Menikmati Sinau Bintang
saban malam,
aku menikmati sinau bintang
mencegah masa lalu
ditenggelamkan
(lekat-lekat
kutatap bilur,
lalu,
pada segala teduh siur,
kutanam kesumat mendalam
dan harap sepanjang ratap)
telah kupadankan badan
dan batang kuantan
memberi kesaksian
kelak,
tepian narosa
tempat kembali gamit jemari
tempat kembali segala puisi.
diam-diam,
aku mencuri dengar mantera
yang dirapalkan mak andam
tiap upacara perandaman
bak mengeja lukisan air
aku menduga-duga,
ke muara mana ikan-ikan berlabuh
dan pada tubuh mana
andai-andai kelak disandingkan
ke hulukah?
kepadamukah?
kau pernah memilih hitam
di antara riuh lukisan air
aku bergidik geli
dalam khayali
sebab,
akulah lelaki itu,
lelaki ringkih
yang kau pilih
sebagai ganti kesepian
sebelum bujurmu
di pembaringan pamungkas
(apakah, kesetiaan
dan sumpah
butuh kematian dahulu
biar dapat dibuktikan?)
barangkali,
masa itu
kita memang terlalu naif
memainkan sandiwara
sepasang kekasih.
pada tangga batu inilah,
di tepian nerosa,
batang kuantan
terus mematung
setelah pernah ditanami harap
ia menanti tabir disingkap
dan kebahagiaan
sebagaimana,
yang pernah kau janjikan
sebagaimana,
yang pernah kita rasakan
sebelum senja usai
tak sekadar igau
dalam mimpi
(saban malam,
aku menikmati sinau bintang
mencegah masa
lalu
ditenggelamkan)
Pekanbaru-Teluk Kuantan, 2016