TELUKKUANTAN (KuansingKita.Com) – Pemerintah lewat PP nomor 60 tahun 2016 tentang PNBP telah menaikkan tarif STNK dan BPKB tiga kali lipat. Kenaikan itu resmi berlaku 6 Januari 2017. Namun sampai kini kenaikan tariff STNK dan BPKB itu masih menuai pro kontra ditengah masyarakat.
Dikutip dari CNN Indoensia, Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam menyebut, kenaikan biaya layanan surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) tidak masuk akal dan membebani rakyat. Pemerintah dinilai tidak punya alasan kuat mengeluarkan kebijakan tersebut.
Menurut Ecky, rakyat terbebani dengan kebijakan ini lantaran mayoritas pemilik kendaraan, terutama pemilik sepeda motor, adalah masyarakat menengah ke bawah.
“Data dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), kepemilikan sepeda motor di Indonesia mencapai 260 unit per 1.000 penduduk. Banyak di antaranya dimiliki oleh penduduk kelas menengah ke bawah,” kata Ecky dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/1).
Ecky melanjutkan, upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara seharusnya dilakukan dengan cara yang lebih kreatif dan mencerminkan rasa keadilan sosial, terutama bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Menaikkan tarif STNK dan BPKB ini dianggap memperparah keadaan masyarakat, apalagi sebelumnya pemerintah malah mengeluarkan program pengampunan pajak yang menguntungkan warga kelas menengah ke atas.
“Pemerintah terkesan kehabisan akal untuk menaikan penerimaan negara yang dua tahun ke belakang selalu defisit,” ujarnya.
Anggota Komisi XI lainnya, Heri Gunawan menyoroti sikap pemerintah yang terkesan saling lempar tanggung jawab atas kenaikan tarif layanan STNK dan BPKB.
Ia secara khusus menyoroti sikap Presiden Joko Widodo yang diberitakan ikut mempertanyakan kenaikan tarif tersebut.
Menurut Heri, Jokowi tak seharusnya mempertanyakan kenaikan itu karena statusnya sebagai orang yang menandatangani payung hukum kenaikan tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016, tertanggal 6 Desember 2016.
Sikap Jokowi yang masih mempertanyakan kenaikan itu, disebut Heri sebagai indikasi dari kesalahan manajemen pemerintah.
“Seharusnya Presiden memanggil pihak-pihak terkait dan merapatkan kenaikan tarif itu secara komprehensif. Hitungannya juga musti benar dengan tetap mempertimbangkan situasi ekonomi dan kemampuan masyarakat,” kata politikus Gerindra ini. (kkc/CNN Indoensia)